BN Online, Makassar---Pemerintah kota Makassar menyampaikan wilayah yang melakukan penolakan Rapid Test justru pada kecamatan yang tidak ditetapkan sebagai episentrum.
Kadis Kesehatan kota Makassar menyampaikan sebenarnya Rapid Test massal yang dilakukan pemerintah kota sudah selesai.
Karena hal itu hanya berlangsung dua hari saja yakni pada hari Jumat dan Sabtu lalu.
“Kecamatan Bontoala dan Makassar yang melakukan penolakan rapid itu tidak masuk pada lima kecamatan episentrum yang ditetapkan untuk di-tracing kemudian dilakukan rapid,” ucap Kadis Kesehatan Naisyah Azikin di Rujab Wali Kota Makassar, Senin (8/6-2020).
Naisyah menjelaskan rapid tahap awal sebelumnya dilakukan pada lima kecamatan dan tahap kedua di enam kecamatan. Penetapan episentrum ini berdasarkan jumlah kasus positif yang tertinggi terjadi di wilayah itu.
Tidak semua kelurahan atau RT/RW dilakukan rapid. Tetapi hanya pada titik-titik yang ditemukan ada kasus positif hasil konfirmasi laboratorium PCR.
“Dimana ada kasus positif, berarti di situ ada virus. Kita akan melakukan rapid, menyisir di sekitarnya. Mulai dari serumahnya, kemudian kontak-kontak yang ditemui sehingga kita bisa melakukan deteksi secara dini,” pungkas Naisyah.
Karena itu, Naisyah akan terus memaksimalkan pihak puskesmas setiap wilayah untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. Sebab mungkin hal ini dianggap masih kurang sehingga masyarakat belum paham sekaitan bahaya covid-19 dan penularannya.
Saat ini, pemerintah juga secara rutin memberi informasi berupa edukasi ke masyarakat menggunakan ‘mobil halo-halo’ dua kali setiap hari, yakni pukul 09.00 pagi dan pukul 15.00 sore.
Meski demikian, Puskesmas juga diminta terus berkordinasi ke Camat hingga pelibatan RT/ RW memberi pemahaman sehingga masyarakat menyadari pentingnya rapid test. Sementara rapid test sendiri tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat yang belum terjangkit dari orang-orang yang terkonfirmasi positif.
Naisyah membantah adanya isu yang menyatakan rapid test yang dilakukan sebagai lahan bisnis. Karena menurutnya rapid test yang digunakan dari pemerintah provinsi sebanyak 20.000 sumbernya murni dari sumbangan pihak swasta.
“Tidak ada yang dibeli. Dimana bisnisnya?Tenaga kesehatan kita yang turun melakukan rapid juga tidak ada yang dibayar sama sekali, karena sudah tupoksi mereka sebagai petugas laboratorium yang ada di Puskesmas,” paparnya.
Ada pun biaya yang dianggarkan di APBD adalah pembelian murni, tidak ada biaya pemeriksaan.
Olehnya itu lanju Naisyah, selain edukasi yang dilakukan secara massif, juga perlu melibatkan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, bersinergi memberi pengertian kepada masyarakat agar tidak ada lagi penularan kasus baru. (*)