Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Mei 2021

Labuhari SH, MH :Biarlah Gedung PWI Sulsel Menjadi Aset Pemda Sepanjang Masa?

 

Oleh Upa Labuhari SH, MH, Wartawan dan Praktisi Hukum.


BN Online Jakarta,--Ketika masih bersekolah ditingkat menengah atas di Makassar, sepertinya aku sedang membaca sebuah puisi berjudul ‘’Penjual Kolak di Pinggir Jalan’’ jika melihat keberadaan kantor PWI Sulsel yang megah di jalan Pantai Penghibur Losari Makassar. Di mulai dengan syair, “Terbit air liurku melihat penjual kolak dipinggir jalan‘’. Begitu besar hasratku ingin menjadi wartawan pada waktu itu. ‘’Untung teringat nasihat ibu di rumah untuk tidak membeli kolak dipinggir jalan.

 

Untung waktu itu aku belum dewasa untuk menjadi seorang jurnalis. ‘’Akhirnya tidak kubeli kolak itu karena nasehat ibuku‘’. Akhirnya ku urungkan cita citaku untuk menjadi wartawan pada waktu itu karena usiaku belum dewasa untuk menjadi seorang jurnalis yang membawa masa depanku seperti sekarang.


Hasratku Kembali menggebu ngebu untuk membela keberadaan Gedung PWI Sulsel ini yang sudah berpindah ke jalan Andi Pettarani dikala muncul berita di media massa menyatakan gedung mewah tempat berkumpulnya para wartawan se-Sulawesi Selatan yang merupakan aset Pemda Sulsel telah disewakan oleh pengurus organisasi profesi ini kepada sebuah perusahaan mini market selama beberapa tahun.


Dana penyewaannya tidak diketahui masuk ke kantong siapa sehingga seorang wartawan makassar yang mencoba mengungkap kebenarannya di lapor ke penyidik Polres Makassar karena dianggap sebagai pencemaran nama baik oleh seorang pengurus PWI Sulsel.


Sang wartawan lalu diciduk oleh penyidik Polres Makassar dan ditahan selama dua bulan sebelum dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Makassar di daerah Gunung Sahari Gowa selama tiga bulan sehingga masa penahanannya menjadi lima bulan. Tidak ada rasa solidaritas pengurus PWI Sulsel atas penahanan ini untuk membebaskan rekannya yang bernama Kadir Sijaya.


Pengadilan negeri Makassar kemudian mengadili perkara ini dengan tertuduh Kadir Sijaya, seorang wartawan makassar pada sebuah media massa.


Dikala Pengadilan Negeri Makassar mulai menyidangkan perkara pencemaran nama baik seorang pengurus PWI Sulsel dan disaat terdakwa mengalami kesulitan untuk mendapat pendampingan kepengacaraan, tiba tiba muncul Lembaga Bantuan Hukum ( LBH) makassar sebagai pembela gratis bersama penulis yang bertempat tinggal di Jakarta. Dalam beberapa kali persidangan, akhirnya Kadir Sijaya dinyatakan tidak bersalah mencemarkan nama baik pengurus PWI Sulsel sehingga ia dinyatakan bebas murni.


Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Makassar yang tidak menerima putusan itu langsung kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, putusan Pengadilan Makassar dinyatakan benar sehingga kasasi jaksa pada Kejaksaan Negeri Makassar ditolak. Bebaslah Kadir Sijaya dari tuduhan mencemarkan nama baik pengurus PWI Sulsel, walaupun ia telah merasakan pahitnya ditahan selama lima bulan Bersama narapidana lainnya.


Pertanyaannya sekarang , dapatkah Kadir Sijaya menuntut ganti rugi atas perbuatan oknum pengurus PWI Sulsel yang melaporkannya ke penyidik Polres Makassar sehingga mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Makassar selama lima bulan?.


Pertanyaan sederhana ini dapat dijawab langsung tanpa mempersoalkannya apakah pelaporan sebelumnya sebagai dendam atau sakit hati. Yang pasti Kadir Sijaya bisa menuntut pidana dan perdata terhadap oknum PWI Sulsel yang sekarang ini sudah menjabat pengurus PWI Pusat sebagaimana diatur dalam Undang Hukum Pidana dan Undang undang Hukum Perdata. Tapi rupanya, Kadir Sijaya belum mau menggunakan haknya untuk menuntut balik orang yang pernah membawanya ke Lembaga Pemasyarakatan Makassar dan tahanan Polres Makassar selama lima bulan baik secara perdata maupun pidana .


Kita tunggu saja kesadaran Kadir Sijaya untuk memulihkan Nama baiknya sebagai orang yang pernah ditahan karena dilapor membuat tindak pidana pencemaran nama baik.


Dan ketika kawan kawan seprofesiku di Makassar menyebut tidak tertutup kemungkinan Gedung PWI Sulsel dialihkan kepada pihak lain setelah pengurus organisasi ini berhasil menyewakannya kepada sebuah perusahan mini market selama beberapa tahun, tanpa diketahui kemana dana sewa itu digunakan , kembali hasratku untuk membela keberadaan Gedung ini. 


Teringat tujuh tahun lalu Ketika Pengurus PWI Pusat yang waktu itu dipimpin oleh Margiono meminta kepada saya bersama rekan almarhum Toro Mendrofa SH tuntuk menelusuri keberadaan Gedung PWI Kalimantan Barat yang sudah menjadi Gudang peralatan PLN di kota Pontianak.


Dari penelusuran selama seminggu bersama penyidik Polda Kalbar akhirnya kami berdua dapat mengetahui bahwa Gedung PWI Kalbar yang berdiri megah di tengah kota Pontianak yang pernah di resmikan oleh Menteri Penerangan RI Harmoko telah dijual secara resmi kepada pihak PLN oleh Ketua PWI Kalbar beberapa saat sebelum meninggal. Dana penjualan itu tidak diketahui dimana disimpan nya karena penjualnya sudah meniggal. Yang hanya diketahui, ketika Gedung bertingkat tiga itu yang terletak diatas tanah seluas kurang lebih 500 meter, penjualannya berjalan lancer karena sepengetahuan seorang oknum pengurus PWI yang bertempat tinggal di Jakarta.


Selesai mendapatkan data langsung dari penyidik perkara ini dan Kapolda Kalimantan Barat, saya Bersama rekan Toro Mendrofa SH ingin menggugat penjualan itu sebagai tidak layak dilakukan oleh oknum pengurus PWI Kalbar lewat Pengadilan TUN Kalimantan Barat. Pendaftaran sudah dilakukan tapi dana pengurusannya tidak dimiliki sehingga penelusuran penjualan Gedung milik aset PWI Pusat tidak berjalan mulus sampai sekarang ini. Harapan saya semoga Gedung PWI Sulsel yang merupakan aset Pemda Sulsel tidak perlu dihibahkan ke pengurus PWI Pusat khususnya PWI Sulsel.


Biarlah Gedung megah yang terletak di pinggir jalan utama jalan Andi Pettarani tetap menjadi milik aset Pemda Sulsel. PWI Sulsel hanya sebagai pengguna aset sepanjang masa biar terhindar dari usaha diperjual belikan setelah sukses disewakan beberapa tahun oleh oknum pengurus organisasi ini kepada sebuah perusahaan mini market dengan dana yang tidak diketahui keberadaannya. Mudah mudahan perkara sewa menyewa ini bisa terbuka secara transparan dan diketahui masyarakat lewat Pengadilan Negeri Makassar setelah beberapa orang wartawan di Makassar melakukan gugatan perdata nomor register 142/Pdt.g/2021/PN Makassar yang akan mulai disidangkan pada hari Kamis tanggal 27 Mei 2021 mendatang. Semoga. (*)


Disclaimer*

*Seluruh isi tulisan adalah tanggung jawab penulis. Penulis adalah wartawan dan praktisi hukum di Jakarta*.


Senin, 18 Januari 2021

Keadiln Dalam UU ITE

 


BN Online, Surabaya--Undang-undang (UU), Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Semestinya menghasilkan kemanfaatan hukum, selain kepastian hukum dan keadilan hukum. Bukan sebaliknya, justru malah "memakan korban". 


Beberapa "korban" diantaranya, yang diviralkan Penggiat (Aktifis) media sosial (Medsos). Mulai dari kasus seorang ibu yang “mengkritisi” pelayanan rumah sakit, kasus Dosen yang mengkritisi kebijakan pimpinannya, kasus "ibu guru” yang diduga mendapat perlakuan kurang etis dari pimpinannya dan kasus seorang ibu yang dilaporkan karena menagih hutang via Medsos dan seterusnya. 


Dalam kasus ibu penagih hutang yang dilaporkan ke Kepolisian (dibuatkan, LP) oleh pihak yang berhutang tersebut, hasil akhirnya diputus bebas oleh Hakim. Dalam kasus tersebut, Penulis sepakat putusan Hakim tersebut adil. 


Putusan kasus tersebut, dan narasi ini. Sekaligus menjawab berbagai pertanyaan masyarakat yang awam hukum, khususnya Netizen di Medsos. Serta mengakomodir aspirasi, yang disampaikan kepada Penulis. Terkait kasus-kasus dugaan “ketidakadilan” terhadap “korban” dari eksekusi khususnya UU ITE seperti tersebut, dan yang terkait lainnya.


Terkait pasal tentang, mulai dari hoax, komplain (“kritik”) dan hak membagi (share) "keluhan", dan fitnah sampai dengan pencemaran nama baik dan seterusnya. Yang seharusnya dipertimbangkan dalam proses hukum, mulai dari; penyelidikan-penyidikan Kepolisian (pemeriksaan saksi, gelar perkara dan putusan tersangka), penuntutan Jaksa (P.21) dan persidangan Hakim (di Pengadilan) terkait kasus tersebut. Semestinya aplikasi atau implementasi (praktinya), seperti yang kita harapkan dan penulis jabarkan tersebut dibawah. 


Pertama, pihak yang menuduh terlebih dahulu wajib membuktikn tuduhannya, misalnya;  apa yang dituduhkan ? yang dituduhkan wajib jelas, tegas dan bekepastian atau tidak meragukan (tidak bermakna, atau tidak memiliki pengertian lain) dan seterusnya. 


Kedua, tuduhan tersebut memenuhi asas legalitas atau ada dasar hukumnya apa tidak ? (aspek formal-legalnya, wajib terpenuhi).


Ketiga, diksi dugaan, berarti bukan tuduhan. Dan kalimat pertanyaan atau mempertanyakan (question), bukan anggapan (bukan, persepsi) atau bukan pernyataan (bukan, statemen). Artinya pihak terlapor atau terperiksa (tersangka), memberi kesempatan pihak pelapor menjelaskan.


Keempat, tidak menyebut identitas seseorang-siapapun secara langsung terbuka terang-terangan atau apa adanya (nyata-nyata). 

 

Kelima, pihak pencari keadilan, dapat membuktikn bahwa yang dimaksud tidak secara spesifik. Tapi secara umum, seperti yang berlaku selama ini. Dan seperti yang dilakukan media serta dilakukan oleh para Penggiat (Aktfis). Juga dilakukan oleh Lembaga (Institusi) berwenang terkait, misalnya Lembaga anti (kontra) tindak kejahatan (kriminal) dan seterusnya. Dalam pemberitaan, edukasi serta "kampanye" dan yang terkait lainya. 


"Yurisprudensi" atau presedenya (sebagai dasar, dan konsekuensi hkum), jika itu semua dianggp fitnah, penistaan dan pencemarn nama baik. Dalam hal ini jika dianggap termasuk perbuatan “kriminal” atau tindak kejahatan (delik, pidana). Seperti yang selama ini dan kita semua sama melakuknya, maka kita semua juga sama wajib dipidana.


Keenam, pihak pencari keadiln tersebut memiliki hak, karena dirugikan secara materiil-imateriil. Dan tidak mendapatkan keadilan, selain dengan upaya tersebut.


Ketujuh, tidak ada niat jahat (mens rea) dan tidak ada perbuatan sengaja melanggar (actus reus), tetapi sebaliknya hanya kritik-peringatan keras saja serta diberikan solusi dan seterusnya. 


Kedelapan, memenuhi unsur  melawan hukum atau dengan sengaja nyata-nyata melanggar hak atau merugikan orang lain apa tidak ? (memenuhi semua unsur, tersebut diatas).


Kesembilan, yang dituduhkan adalah realita-fakta atau kenyataan yang  terjadi, ada bukti-bukti serta kesaksian, dan yang terkait lainya. Bukan anggapan subyektif, menurut perasaan-pikiran yang menuduh.


Kesepuluh, setelah itu semua terpenuhi. Nantinya makna-pengertian yang dituduhkn tersebut, wajib dibuktikan dipengadilan oleh ahli bahasa.


Tetapi sebaliknya jika terkait pemberitaan atau jurnalistik (pers), semestinya diselesaikan dengan UU tentang Pokok Pers dan diselesaikan melalui Dewan Pers serta secara mekanism, prosedur dan proses aturan-ketentuan yang berlaku dalam jurnalistik.


Atau jika terkait, kebebasan mimbar akademik, demokrasi dan hak asasi manusia dalam masyarakat kampus dan seterusnya. Semestinya ada perlindungan hukum, didasari tradisi akademik (nilai-nilai, norma, kaidah ilmiah serta kode etik dan seterusnya), serta diselesaikan terlebih dahulu di Lembaganya.


Sesuai projustitia demi kebenaran-keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Kuasa dan UU bantuan hukum, dalam kesempatan ini kami berharap kepada kolega-kolega Pengacara-Advokat. Dapat memberikan bantuan hukumnya terutama secara probono dengan layanan prodeo, kepada pihak-pihak yang membutuhkan serta kurang mampu dan yang terkait tersebut.


Sebaliknya jika yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, atau pihak yang dituduh dapat membuktikan bahwa yang dituduhkan tidak berdasar serta tidak benar dan seterusnya. Maka pihak yang menuduhlah, yang memfitnah atau mencemarkn (dan dapat, dilaporkan balik).


Untuk lebih jelas-tegas-berkepastian, guna kebenaran-keadilan.  Berikut ini beberapa Pasal, yang sering atau umumnya (biasanya) digunakan dalam kaitan kasus tersebut diatas.


Pertama, Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Tentang, siapapun-setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak. Dilarang mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik, yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.


Kedua, Pasal 28 ayat 1 UU ITE. Tentang, "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak. Dilarang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik".


Ketiga, Pasal 45 ayat 1 UU ITE. Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar, rupiah).


Ketiga, Pasal 310 dan 311 KUHP tentang fitnah dan pencemaran nama baik.


Semoga narasi tersebut ini dapat meminimalisir "korban", akibat tuduhan pihak yang menggunakan Pasal-pasal khususnya dalam UU ITE tersebut diatas. Sekaligus harapan jangan sampai UU termaksud tersebut diatas, menjadi alat otoritarian kekuasaan, pembungkam demokrasi dan merampas hak asasi manusia dan seterusnya.


Fiat justitia ruat caelum”, salam revolusi hukum dan reformasi pendidikan tinggi hukum-berlandaskan Pancasila serta bela negara.


Oleh :

Panggung Handoko, SH. S.Sos. MM.

Senin, 04 Mei 2020

Covid-19 Merubah Lanskap Persekolahan di Indonesia



BN Online Makassar--Surat Edaran Mendikbud No.4 tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Corona virus Disease (Covid-19). 

Menyebutkan bahwa kesehatan lahir dan batin siswa, guru, kepala sekolah dan seluruh warga sekolah menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan pendidikan selama masa penyebaran corona yang semakin meningkat.

Kebijakan ini telah merubah drastis kebiasaan persekolahan yang ada di Indonesia, yang sebelumnya menganut sistem tatap muka langsung dengan menggunakan seluruh sarana dan prasarana yang ada di sekolah.

Termasuk gedung dan segala tools yang ada, menjadi sistem pembelajaran melalui jaringan (daring). Proses belajar dari rumah melalui sistem daring, tanpa mengumpulkan siswa dan guru dalam sebuah gedung adalah perwujudan dari upaya pemerintah dalam melaksanakan  pembatasan interaksi sosial (social distancing) sebagai salah satu cara pemutusan penyebaran Covid-19.

Peserta didik cukup berada di rumah masing-masing untuk melakukan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi baik melalui laptop, televisi ataupun gadget. 

Ujian Nasional, ujian sekolah untuk kelulusan dan ujian akhir semester yang sifatnya mengumpulkan peserta didik tidak boleh dilakukan. 

Ujian sekolah hanya dapat dilakukan dalam bentuk portofolio nilai rapor dan prestasi yang diperoleh sebelumnya, penugasan, tes daring, dan/atau dalam bentuk assesement jarak jauh lainnya.

Kebijakan pendidikan  yang diberlakukan selama masa pandemi Civid-19, dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi bagian dari sistem pendidikan Indonesia di masa depan,telah  menciptakan paradigma baru dalam dunia pendidikan di Indonesia.


Hal ini telah memporakporandakan paradigma lama yang menganut sistem pendidikan konvensional. Pertanyaan yang paling mendasar adalah sudah siapkah stakeholders pendidikan kita dalam menerima paradigma baru ini?. 

Paradigma baru dalam menjalankan kebijakan di dunia pendidikan selama masa pandemi Corona-19 ini menuntut semua stakeholder pendidikan untuk melakukan lompatan besar melalui berbagai strategi. 

Adanya perubahan bentuk belajar dari gedung sekolah ke belajar di rumah yang pembelajarannya difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain menganai Covid-19, secara tidak langsung menuntut agar para stakeholder pendidikan untuk memikirkan rekonstruksi filosofi pendidikan di Indonesia. 

Konsep filosofi pendidikan di Indonesia telah mengalami pergeseran makna terutama di era konsep pendidikan modern sekarang ini, apalagi dengan kebijakan pendidikan di tengah merebaknya wabah Covid-19.

Paradigma lama dalam dunia pendidikan, dimana belajar dalam gedung sekolah, dimasa pandemi Covid-19 tidak berlaku secara efektif. Para peserta didik dan guru cukup duduk di depan laptop/komputer/gadget di rumah masing-masing atau dimanapun berada.

Hal ini memberi paradigma baru bahwa suatu saat kegiatan belajar mengajar tidak membutuhkan gedung lagi sebagai tempat berkumpul. 

Pada sekolah konvensional, guru adalah subyek yang berfungsi sebagai narasumber pembelajaran. Namun dimasa pandemi Covid-19 ini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, bahkan jika pemerintah tidak melakukan rekonstruksi filosofi pendidikan, maka era guru sebagai sumber belajar nyaris berakhir. 

Peran guru sebagai fasilitator lama kelamaan akan ditinggalkan. Bahkan paradigma guru sebagai pengajar dan peserta didik sebagai subyek yang diajar dianggap cara pandang yang sudah usang. 

Bergesernya filosofi pendidikan sedikit demi sedikit telah menghilangkan budaya budi pekerti dari peran ‘guru sebagai orang tua’ di sekolah menjadi ‘guru sebagai teman’ dan di era pandemic Covid-19 ‘guru adalah fasilitator’. 

Guru sebagai orang tua memberikan sebuah atmosfir pendidikan yang membuat peserta didik dapat berkeluh kesah menyampaikan semua semua permasalahan layaknya anak kepada orang tua, sehingga guru dapat menangkap karakter setiap anak. 

Namun pergeseran makna menjadi ‘guru sebagai teman’ telah banyak menunjukkan sisi negatif, dimana peserta didik mulai melapaui nilai yang seharusnya dilakukan. 

Begitu banyak kenyataan yang memberitakan perlakuan yang tidak semestinya dari peserta didik terhadap gurunya. 

Sedangkan di era Covid-19 ini dimana guru sebagai fasilitator, bahkan lama kelamaan peserta didik tidak membutuhkan guru lagi karena adanya guru mesin (internet) telah menghilangkan sisi kekuatan batin dan karakter antara peserta didik dan guru. 

Hal ini bertentangan dengan konsep filsafat pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak dalam rangka kesempurnaan hidup dan keserasian dengan dunianya. 

Karena dengan tumbuhnya kekuatan batin dan karakter peserta didik berarti mengarahkan pendidikan untuk meningkatkan citra manusia menjadi manusia yang berpendirian teguh untuk nilai-nilai kebenaran.

Ekspresi kebenaran itu melalui pancaran tutur kata, sikap, dan perbuatan secara langsung terhadap lingkungan alam tidak dapat ter-cover melalui metode pembelajaran daring. Oleh karena itu peran guru sebagai transfer of knowledge tetap diperlukan diantara kegamangan akan nasib pendidikan kita pasca pandemi. 

Selain rekonsepsi filosofi pendidikan, dalam menghadapi kebijakan pendidikan di masa covid-19 ini, pemerintah juga harus melakukan re-orientasi tata kelola sekolah. 

Social distancing, belajar dan bekerja dari rumah (Work From Home) selama masa pandemi covid-19 tidak perlu merubah tatanan sistem pendidikan yang ada, hanya saja sistem pendidikan di Indonesia perlu melakukan adaptasi dengan mendorong sekolah-sekolah untuk melakukan pengembangan sistem pembelajaran yang berbasis teknologi dan internet. 

Sebenarnya bagi sekolah-sekolah diperkotaan, sistem pembelajaran berbasis teknologi sudah tidak asing lagi. Namum kenyataan menunjukkan bahwa kondisi sekolah-sekolah di Indonesia umumnya memiliki sistem pembelajaran yang jauh dari harapan. Baik yang ada di kabupaten kota apalagi di pedesaan.


  1. Banyak kendala yang dihadapi sekolah-sekolah dalam melakukan re-orientasi tata kelola sekolah. Selain karena ketersediaan sumberdaya guru yang kebanyakan belum melek teknologi (Imigran digital).

Belum meratanya kuaitas dan kompetensi guru yang dibutuhkan dalam menghadapi era teknologi, juga karena minimnya sarana dan prasarana sekolah yang mendukung terlaksananya sistem pembelajaran dengan menerapkan sains dan teknologi di sekolah. 

Sekolah harus memiliki sarana dan prasarana penunjang untuk pelaksanaan pembelajaran sistem daring, untuk mengantisipasi kejadian-kejadian darurat lainnya.  Kendala yang paling utama dari re-orientasi tata kelola sekolah di era Covid-19 ini adalah banyaknya guru yang mengidap penderita Imigran digital. 

Para guru yang merupakan peninggalan jaman lampau kebanyakan belum siap dalam menggunakan teknologi  digital dalam sistem pembelajarannya. 

Oleh karena itu, dengan adanya sistem belajar dari rumah, telah merubah lansekap persekolahan di indonesia, yang mau tidak mau akan memaksa para pendidik untuk belajar menggunakan teknologi digital dalam proses belajar mengajar secara daring. 

Hal ini menuntut para pendidik untuk lebih kreatif dan berusaha mencari inovasi dalam melaksanakan pembelajaran online.

Oleh : Dr. Naidah Naing, ST., MSi., IAI 
( Dosen Arsitektur UMI, Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sulawesi Selatan, Anggota Forum Dosen Makassar)


(*)

News Of This Week