BN Online, Makassar----Setelah beberapa bencana terjadi, tiba tiba muncul asumsi bahwa persoalan ini diakibatkan karena perilaku musyrik dari masyarakat tertentu. Yang menjadi sasaran adalah komunitas lokal dan adat yang acap kali melakukan kegiatan kebudayaan. Kegiatan itu dituduh oleh beberapa kelompok sebagai perbuatan syirik.
Belum berhenti sampai disitu, belum lama berselang beredar surat yang ditandatangani oleh Wagub Sulsel. Isi surat edaran itu salah satunya ikut menguatkan asumsi bahwa bencana yang terjadi diakibatkan oleh perilaku syirik. Karena itu kegiatan kebudayaan patut untuk menghindari kemungkinan terjatuh pada kesyirikan tersebut.
Ada beberapa hal yg problematik dari surat edaran wagub ini. Pertama, bagaimana mengukur satu kegiatan budaya itu syirik atau tidak? Jika misalnya mengukur menurut agama Islam, maka perilaku budaya yg mendasarkan dirinya pada agama lain apakah dikategorikan syirik pula?
Katakanlah ini khusus untuk umat Islam, maka alasan paling dasar dibuatnya surat edaran ini tidak terpenuhi. Bukankah alasannya untuk mencegah bencana? Jika hanya ditujukan untuk umat Islam, maka yg lainnya tetap akan melaksanakan ritual budaya yg menurut ukuran sebagian umat Islam berbau kesyirikan.
Kedua, jika yang dimaksudkan hanya khusus untuk umat Islam pula, maka mengukur perilaku syirik itu seperti apa? Apakah acara adat akkalomba, akkattere dan andingingi di kajang masuk kategori itu? Apakah acara 7 bulanan perempuan yg sedang mengandung (attarasa istilah di kampungku) masuk kategori syirik? Apakah selamatan sambil baca barazanji masuk kategori syirik? Apakah pesan berantai di medsos yg menyebut jika kamu tidak mengedarkan pesan ini, maka akan ditimpa kesusahan juga masuk kategori syirik ? Termasuk pernyataan yg menyebutkan bahwa bencana diakibatkan perilaku dan praktek ritual adat apakah juga termasuk perilaku syirik? Bukannya kita telah menganggap ada kekuasaan lain yg mengakibatkan bencana itu?
Ketiga, lebih problematik lagi jika kesyirikan itu ditujukan untuk semua agama. Apa yang dianggap ibadah pada agama tertentu bisa jadi dipandang oleh agama berbeda sebagai kesyirikan. Ritual melasti pada agama Hindu yang melarung sesajen ke laut atau sungai, adalah bagian dari ajaran agamanya. Tentu bagi Hindu jelas ritual itu bukan kesyirikan, tapi sikap menyucikan diri dengan menghanyutkan segala debu jiwani pada diri melalui air. Hal ini dilakukan agar saat ibadah Nyepi, diri betul betul siap menyatu dengan Yang Maha Kuasa.
Ini belum lagi jika kita bicara soal agama agama lokal yang tentu memiliki ritual tertentu. Agama lokal yang kini juga mulai mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara.
Keempat, Bisa dibayangkan jika surat edaran ini betul betul terbit secara resmi, maka akan muncul kelompok yang mengatas namakan dirinya pembela surat edaran. Lantas mereka akan menyisir komunitas adat serta melarang kegiatan budayanya, karena dalam ukuran mereka perbuatan-perbuatan tersebut telah mengandung kesyirikan.
Dengan segala persoalan yang akan timbul, sebaiknya surat edaran wagub yang memang masih draft itu tidak perlu terbit. Bukan berarti kita menyetujui
kesyirikan, sudah pasti tidak. Kesyirikan memang harus dihilangkan dari diri umat beragama dan disitulah peran ulama, dai, pendeta, bikhu, biksu dan tokoh agama lainnya. Tidak perlu negara yang mengambil alih persoalan tersebut. (*).
Editor : | BN Online | Dny