SIARAN PERS No: 45/SP/HM.01.02/POLHUKAM/3/2021
BN Online Jakarta,--Tim Kajian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terus menghimpun berbagai masukan dari para pakar dan narasumber. Tak luput dari pembahasan, suara dari kalangan aktifis perempuan juga menjadi sorotan tim bentukan Menko Polhulam Mahfud MD tersebut.
Dalam Focus Grup Discusion (FGD) lanjutan yang berlangsung secara virtual pada Rabu, (17/3) ini, tim kajian meminta masukan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dan Komnas HAM yang diwakili Sandrayati Moniaga.
Menurut Andy Yentriyani, Komnas Perempuan mencatat pengaduan kekerasan berbasis siber mengalami kenaikan hingga tiga kali lipat di tahun 2020. Dari sejumlah pengaduan, UU ITE kerap kali digunakan dalam sejumlah kasus seperti KDRT, kasus kekerasan seksual, dan kasus korban eksploitasi seksual. Ia menilai, undang-undang ITE diskriminatif terhadap perempuan.
“Dalam kasus korban eksploitasi seksual dan pembalasan melalui penyebarluasan materi bermuatan seksual, dimana korban menjadi salah satu subjek, UU ITE dan UU Pornografi paling banyak di gunakan. Sementara untuk kasus KDRT, ataupun kekerasan seksual lainnya, dimana korban menyampaikan pengalamannya ataupun kekesalannya melalui ruang siber, semua dipukul rata menggunakan UU ITE,” Ujar Andy Yentriyani.
Andy menambahkan, Komnas Perempuan tengah mensoroti sejumlah pasal UU ITE yang bersifat sumir, pasal ini dinilai tidak memuat kemudahan khusus bagi perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan, melainkan membuat perempuan menjadi pihak yang dikriminalkan melalui UU ITE.
“Pertama adalah tentang frasa-frasa di dalam sejumlah pasal dalam UU ITE bersifat sangat sumir. Misalnya pada pasal 27 ayat 1, dengan muatan yang melanggar (kesusilaan), ini sudah bolak balik dipermasalahkan,” jelas Andy.
Selain pasal 27 ayat 1, Andy juga mensorot sejumlah pasal lainnya, seperti pasal 27 ayat 3 terkait penghinaan atau pencemaran nama baik dan pasal yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi di pasal 29.
Sementara itu, Sendrayati Moniaga Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM menegaskan sikap Komnas HAM yang mendukung revisi UU ITE, demi melindungi hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, Komnas HAM juga tengah menyusun standar norma dan pengaturan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang bisa digunakan sebagai acuan dalam proses revisi UU ITE.
“SNP bisa menjadi pedoman bagi aparat negara untuk memastikan tidak ada kebijakan dan tindakan pembatasan dan atau pelanggaran terhadap hak dan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pedoman bagi individu dan kelompok agar memahami tindakan pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, untuk bisa memastikan hak asasinya terlindungi, dan tidak melakukan tindakan diskriminatif,” ujar Sendrayati Moniaga.
Usai menerima masukan dari Komnas Perempuan dan Komnas HAM, Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo mengakui Tim mendapatkan masukan yang berbeda dalam FGD yang berlangsung sebelumnya. Hari ini, baik Komnas Perempuan dan Komnas HAM mengutarakan dorongan untuk dilakukannya Revisi UU ITE.
“Ini menjadi satu masukan dalam perspektif yang berbeda dari hari-hari sebelumya. Kemarin kita bertemu dengan akademisi menyampaikan pandangan pandangannya,” ujar Sugeng.
Terkait dengan substansi dari UU ITE maupun implementasinya, lanjut Sugeng, menjadi masukan yang sangat penting bagi masing masing tim dalam menyelesaikan tugasnya.
Sesuai dengan agenda, Tim kajian UU ITE akan memasuki tahap akhir dari kegiatan FGD. Selanjutnya rencananya tim akan menghadirkan narsumber dari Kementerian dan Lembaga, dan juga narasumber dari DPR dan Partai Politik. (*)