BN Online, Jakarta - Keberadaan pertambangan batubara tanpa izin (PETI) di Kabupaten Muara Enim yang sudah beroperasi semenjak 2010 lalu sudah menjadi lintah menghisap kekayaan Sumsel hingga merugi ratusan miliar rupiah.
Puluhan masa aksi yang tergabung dalam Front Rakyat Biasa datangi kantor Gubernur Sumatera Selatan melakukan aksi massa menuntut penghentian Pertambangan batubara Tanpa Izin (PETI) yang beroperasi di dua kecamatan Tanjung Agung dan Lawang Kidul, Muara Enim Sumatera Selatan, Rabu sore (02/02/2022).
Pertumbuhan Pertambangan batubara Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Muara Enim dengan mengatasnamakan pertambangan rakyat, memang mengerahkan tenaga kerja lokal. Bahkan pemerintah sempat berencana melegalkannya, padahal bila merujuk pada UU nomor 3 tahun 2020 pasal 66 yang menjelaskan bahwa pertambangan Batubara tidak masuk dalam kelompok kegiatan pertambangan rakyat.
Belum lagi aktivitas Pertambangan batubara Tanpa Izin (PETI) ini, masuk kedalam Izin Usaha Penambangan (IUP) beberapa perusahan swasta seperti PT. MME, PT.GPU, PT.BAS selain perusahan plat merah milik negara PT . Bukit Asam Persero TBK. Dalam klaim yang disebutkan oleh Assosiasi Masyarakat Batubara (ASMARA) Muara Enim yang mengkoordinir Pertambangan batubara Tanpa Izin (PETI) ini, hingga saat ini sudah ada 200 lubang tambang yang beroperasi dimana hampir keseluruhannya menggunakan excavator dalam melakukan pengupasan tanah dan pengerukan batubaranya.
Dalam aksi massa nya, Front Rakyat Biasa mendesak Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, dalam hal ini Gubernur Sumatera Selatan sebagai wakil Pemerintah pusat sesuai dengan PP Nomor 33 Tahun 2018, untuk dapat melakukan penutupan atau menghentikan aktivitas Pertambangan batubara Tanpa Izin (PETI) di dua Kecamatan Lawang Kidul dan Tanjung Agung serta menangkap angkutan/kendaraan yang mengangkut batubara dari hasil Pertambangan batubara Tanpa Izin (PETI) karena jelas melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 158 dan Pasal 161.
“Kami meminta Gubernur Sumatera Selatan menutup PETI dan menangkap kendaraan batubara yang lewat jalan raya dari Baturaja-Martapura atau Prabumulih-OI-OKI, karena melanggar tindak pidana yang diatur dalam UU nomor 3 tahun 2020”, sebut Yoga Novalensi sebagai koordinator aksi.
Aktivitas Penambangan Tanpa Izin (PETI) sektor batubara di dua Kecamatan Lawang Kidul dan Tanjung Agung yang telah berjalan dari tahun 2010 sampai saat ini telah membuat negara dirugikan dalam pendapatan negara bukan pajak pada sektor pertambangan batubara. Dalam asumsi kalkulasi batubara yang di jual di pasaran dari aktivitas pertambangan tanpa izin batubara di dua kecamatan tersebut setiap harinya dengan dasar ada 100 tronton fuso capasitas 30 ton yang berangkat setiap malam-nya, perbulan sebesar 9000 ton dan dalam setahun 108.000 ton. Jika dikalikan harga acuan batubara (HBA) per Februari 2021 di dalam negeri Indonesia sebesar USD 87.79 atau Rp.1.229.060/ton maka pada bulan tersebut negara dirugikan dari PETI batubara sebesar Rp.11.061.540.000, dan dalam 1 tahun Rp. 132.738.480.000 (dengan acuan harga yang tetap setiap bulan nya).
Bukan hanya sebatas kerugian material yang di alami Sumsel, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tercatat ada 14 jiwa pekerja PETI melayang akibat minimnya pengetahuan tentang pertambangan yang tentunya wajib good mining practices karena memiliki resiko tinggi.
Selain itu, seperti yang disampaikan Abul Hasan Al Asy'ari ketua Sarikat Buruh Muslim Indonesia (SARBUMUSI) Sumatera Selatan, dalam satu lubang galian setidaknya ada 10 orang pekerja yang di libatkan, bila jumlah PETI di Muara Enim yang beroperasi kini lebih 200 lubang ada 2000 pekerja yang tidak mendapatkan jaminan sosial pada pekerjaan yang memiliki resiko tinggi tersebut.
“PETI selain melanggar undang undang no 3, dalam praktek nya telah merengut nyawa rakyat pekerja sebanyak 14 orang dari tahun 2017 hingga 2020, mereka mati karena tertimpa longsoran tanah akibat lubang PETI, disamping itu, karena tambang ini ilegal maka tidak ada perlindungan jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja”, sebut Ari panggilan akrab yang juga aktivis muda NU ini.
Sementara itu, menyambut tuntutan masa aksi Front Rakyat Biasa yang diterima Asisten I Gubernur bidang pemerintahan dan kesra Rosyidin Hasan menyebutkan permasalahan PETI di Sumsel sudah sejak lama menjadi perhatian khusus Pemprov Sumsel, dan karena tidak ada izin maka tidak ada yang didapat oleh Pemerintah Provinsi terutama bagi pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan. Pemerintah Provinsi saat ini tidak bisa melakukan tindakan lantaran aktivitas pertambangan diambil alih oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Asisten I Gubernur bidang pemerintahan dan kesra Rosyidin Hasan, Pemerintah Provinsi Sumsel akan dapat bertindak dengan cepat apabila ada surat resmi yang diajukan oleh pihak Front Rakyat Biasa yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Selatan dan ditembuskan kepada Kementerian ESDM di Jakarta.
“Terima kasih sudah menyampaikan masukannya, karena ini tidak ada izin maka tidak ada pembangunan ekonomi yang didapat dari ini, dan demo ini adalah yang pertama dalam hal menyangkut Pertambangan Tanpa Izin”, sebut Rosydin yang disambut tepuk tangan massa Front Rakyat Biasa.
"kami sangat berharap dan senang untuk dapat menindaklanjuti hal ini, apabila bisa pihak Front membuat surat resmi yang ditujukan kepada bapak Gubernur dan ditembuskan ke Menteri ESDM, sehingga ada alasan yang mesti kita lakukan kepada Menteri ESDM karena hal ini terkait wewenang dari Menteri ESDM”, jelas nya kembali. “kemarin pada saat musibah longsor yang mengakibatkan penambang yang 11 orang meninggal dunia, kita juga pemerintah Sumsel di bikin merundung karena ada rakyat 11 orang yang mereka tidak mendapatkan secara banyak pada proses penggalian itu, tetapi mereka harus kehilangan nyawanya," tambahnya.
Tak hanya berdampak terhadap PAD pemprov sumsel, namun akibat aktivitas PETI ini juga merusak fasilitas umum di Sumsel.
Upaya Pemprov Sumsel untuk menekan aktivitas PETI telah dilakukan dari sisi hilir. Dimana dengan melarang angkutan batubara melintas di jalan umum melalui Pergub No 74 tahun 2018 yang mencabut Pergub No 23 Tahun 2012 tentang tata cara pengangkutan batubara melalui jalan umum.
"Sudah batu baranya dikuras, kemudian jalan dibuat rusak, PAD juga enggak dapat, itu kan dirugikan. Jadi yang dirugikan bukan hanya pemerintah namun ini sangat merugikan rakyat,"ungkapnya.
Pencabutan Pergub No 23 Tahun 2012 tersebut praktis membuat pengangkutan batubara melalui jalan umum menjadi tindakan yang ilegal. Hanya saja, pada praktiknya angkutan batubara masih bisa melintas.
"Kami sudah melakukan pengawasan. Buktinya sudah tidak ada lagi truk batubara yang melintas sejak pak Gubernur mengeluarkan Pergub 74. Kalaupun ada yang melintas, tentu itu tanpa sepengetahuan dari petugas ataupun masyarakat,” ucapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Hendriansyah menuturkan permasalahan PETI di Sumsel ini sudah menjadi atensi dari presiden RI Joko Widodo, bahkan untuk mengentaskan PETI pemerintah melibatkan Menkopolhukam.
“Sudah dibuat timnya, dilakukan diskusi. Tetapi faktanya juga tidak selesai-selesai,” ungkapnya.
Sumsel saat itu penyelesaiannya tidak hanya dilakukan pada bagian hulu yang melakukan penambangan. Tindakan tegas harus juga dilakukan terhadap orang atau badan yang membeli atau menggunakan batubara tersebut.
“Siapapun yang menggunakan batubara ilegal itu harus segera ditindak. Juga dilakukan pidana,”
Untuk pengawasan, Hendriansyah mengaku telah melakukan upaya pengawasan yang ketat terhadap aktivitas tersebut. Namun, sejak ditariknya wewenang tersebut ke pemerintah pusat, pengawasan dilakukan oleh Inspektur Tambang perwakilan Sumsel.
"Cuman faktanya juga tidak selesai-selesai. Nah, pemprov waktu itu meminta jangan di hulu saja, tapi di hilir. Jadi dalam ketentuan undang-undang itu kan pidana (hilir) yang melakukan penambangan tanpa izin, saran kita yang menggunakan batu bara (hulu) tanpa izin juga bisa dipidana,"ungkapnya
Sementara terkait pengawasan, Hendriansyah mengaku telah melakukan upaya pengawasan yang ketat terhadap aktivitas tersebut. Namun, sejak ditariknya wewenang tersebut ke pemerintah pusat, pengawasan dilakukan oleh Inspektur Tambang perwakilan Sumsel.
“Kalau di Sumsel ini, aktivitas PETI terjadi di penambangan batubara di Tanjung Enim dan penambangan emas di Muratara,” tutur nya.
Dalam proses pelaksanaan Pemerintahan di Sumatera Selatan, terutama Gubernur Sumatera Selatan sebagai wakil pemerintah pusat harus bisa melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya, agar dapat tercipta Pemerintahan yang kuat, bersih serta berpihak kepada rakyat. Aktivitas penutupan Pertambangan batubara Tanpa Izin ini, sudah menjadi focus dari Gubernur Sumatera Selatan, setidaknya dalam rekamanan video you tube sebagai jejak digital penegasan Herman Deru dalam bentuk harapan karena regulasinya adalah wewenang Kementerian ESDM untuk bisa melindungi masyarakat pekerja yang menggali batubara pada PETI ini, dalam hal keselematannya.
“LMND dan Front Rakyat Biasa meminta Bapak Herman Deru sebagai Gubernur untuk bisa menindak tambang ilegal dan menangkap kendaraan yang mengangkut batubara dari PETI, yang menggunakan jalan umum untuk menjualnya”, tegas Amir Iskandar ketua Eksekutif LMND Kota Palembang.
"Dan kami akan melakukan aksi kembali dengan massa yang lebih banyak lagi, jika sekarang puluhan maka selanjutnya akan ratusan sampai Pertambangan batubara Tanpa Izin yang melanggar Undang Undang ini ditutup," tutup Amir dengan disambut yel yel hidup mahasiswa, hidup buruh, hidup petani, hidup rakyat mandiri oleh barisan massa Front Rakyat Biasa.
(erfan/darman).